Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Indonesia

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Minggu, 24 Juni 2012

Pohon Tarbiyah

Ribuan langkah kau tapaki


Pelosok negeri kau sambangi
Tanpa kenal lelah jemu
Sampaikan firman Tuhanmu
Terik matahari tak surutkan langkahmu
Deru hujan badai tak runuhkan azzammu
Raga kan terluka tak jerihkan nyalimu
Fatamorgana dunia tak silaukan pandangmu…
(Syair Nasyid Sang Murabbi)

Lagu Izzis di atas mengingatkan kita akan perjuangan para masyaikh-masyaikh dakwah yang telah mewaqafkan hidupnya di jalan dakwah. Para murabbi yang tak kenal lelah dan jemu menanam pohon-pohon tarbiyah. Dulunya pohon ini hanya satu di tengah lahan-lahan gersang yang tak terurus. Dulu pohon ini hanya sendiri melawan segenap cobaan untuk mengakhiri kehidupannya. Dulu Pohon ini dirawat dengan diam-diam tanpa sepengetahuan intel-intel penguasa. Karena para penguasa tahu jika pohon ini dibiarkan tumbuh subur maka kekuasaannya akan berakhir. Pada tahun 1998 apa yang mereka takutkan terbukti. Para penguasa itu hengkang dari istananya karena desakan-desakan buah keimanan dari pohon tarbiyah yang sudah ditanam lama. Buah dari pohon tarbiyah yang selalu dijaga kualitasnya. Buah dari pohon tarbiyah yang ditanam di pekarangan kampus-kampus dengan penuh ketekunan dan kesabaran.

Teringat sebuah kata-kata heroik dari Ustadz Rahmat Abdullah,
Teruslah bergerak hingga kelelahan itu lelah mengikutimu, teruslah berlari hingga kebosanan itu bosan mengejarmu, teruslah berjalan hingga keletihan itu letih bersamamu, teruslah bertahan hingga kefuturan itu futur menyertaimu, tetaplah terjaga hingga kelesuan itu lesu menemanimu
Mereka para masyaikh dakwah terus bergerak menanami pohon-pohon tarbiyah hingga ujian yang menghadang kelelahan mengikuti semangat menanamnya. Mereka terus berlari menejelajahi setiap sudut negeri ini untuk menyemaikan pohon tarbiyah baru. Mereka tak pernah berhenti untuk menanami pohon ini hingga pohon ini hadir di setiap pekarangan rumah yang mampu membawa kesejukan pada anak-anak ibu pertiwi.

Kini pohon tarbiyah telah tumbuh dengan sangat kokohnya. Mengeluarkan buah keimanan yang manis. Kini pohon tarbiyah berhasil menghadirkan keteduhan pada negeri ini. Kini pohon tarbiyah telah mampu menghadirkan pertahanan yang kuat pada bangsa ini dari terpaan deras angin globalisasi fikrah kebatilan. Kini pohon tarbiyah telah mampu menghadirkan kesejukan dan kenyamanan. Kini pohon tarbiyah telah mampu hidup di pekarangan kantor-kantor pemerintahan, kejaksaaan, perpajakan dan bahkan di perusahaan. Kini pohon itu juga tumbuh subur di pekarangan gedung dewan perwakilan rakyat. Hampir tak ada propinsi di negeri ini yang tak ditumbuhi pohon tarbiyah.

Pohon ini tumbuh karena kegigihan para pejuang dakwah menanam dan merawatnya. Mereka telaten menyiangi hama-hama kehidupan yang dapat menghalangi pertumbuhan pohon. Mereka senantiasa menyirami pohon tarbiyah itu dengan air takwa yang sejuk dan menyuburkan. Kelak suatu saat pohon tarbiyah akan tumbuh di pekarangan istana negara.

Rabu, 06 Juni 2012

Senin, 04 Juni 2012

Bersama Dakwah, Apa Yang Kau Dapatkan Lebih Banyak Dari Apa Yang Kau Rasakan

Oleh: Abdullah Haidir, Lc


وَالضُّحَى . وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى . مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى . وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَى




Demi waktu Dhuha, dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu, dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagi kamu dari permulaan… (QS. Adh-Dhuha)

~*~

Surat Adh-Dhuha, boleh dibilang sebagai surat penghibur bagi para da'i.Diriwayatkan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, bahwa surat ini diturunkan pada fase Makiyah di saat sekian lama tidak turun wahyu. Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa ketika itu beliau jatuh sakit. Lalu orang-orang kafir mengejek Rasulullah saw bahwa Tuhannya telah meninggalkannya.

Maka, untuk menghibur Rasulullah saw, Allah menurunkan surat Adh-Dhuha, yang berisi pesan bahwa Dia tidak akan meninggalkannya. Bahkan justeru Allah Ta'ala telah memberinya berbagai macam kenikmatan. Bukankah beliau dulunya anak yatim, lalu Allah berikan perlindungan, bukankah sebelumnya dia miskin, lalu Allah beri kecukupan, bukankah sebelumnya dia tidak tahu syariat yang benar, kemudian Allah tunjukkan jalan yang benar. Itu semua sudah cukup menjadi bukti bahwa Dia tidak akan meninggalkannya. Bahkan Allah berjanji untuk memberinya lebih baik dan membuat hatinya ridha di kemudian hari.

Beginilah salah satu tabiat dakwah. Sesungguhnya, dakwah selalu memberikan lebih banyak dari apa yang kita berikan. Dia selalu memberikan lebih besar dari apa yang kita rasakan. Seringkali kita hanya melakukan hitungan-hitungan lahir dan kuantitatif untuk mengukur capaian dakwah kita. Akibatnya sering muncul perasaan gagal dan tidak berguna untuk kemudian menyurutkan langkah.

Padahal jika seseorang terus berada dalam garis dakwah di sepanjang medan dan usia yang dilaluinya, itu sudah cukup menjadi prestasi terbesar dakwahnya. Bukankah 950 tahun dakwah Nabi Nuh alaihissalam hanya menghasilkan beberapa gelintir orang saja yang mengikutinya. Tapi dia tetap tercatat sebagai Nabi Ulul Azmi yang dikenang dalam kesungguhan berdakwah. Bahkan Rasulullah saw pernah diperlihatkan oleh Malaikat Jibril, seorang Nabi tanpa satu orang pengikutpun.

Itupun jika kenyataannya demikian. Apalagi jika ternyata apa yang kita dapatkan dari apa yang Allah berikan dan bentangkan dalam jalan dakwah ini ternyata begitu banyak dan begitu beragam, baik dalam tataran kolektif ataupun individu. Cobalah perhatikan, kondisi dakwah 10-20 tahun sebelum ini dengan apa yang terjadi sekarang. Terjadi lompatan yang sangat besar dan cukup signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Adapun berbagai macam problematikan dan kendala tentu kita tidak boleh menutup mata. Tapi jadikanlah itu tantangan yang menuntut kerja keras dan langkah tegas, bukan sebagai vonis kegagalan yang memberatkan langkah dan menumbuhkan sikap pesimis. Karena tabiat dakwah juga mengajarkan kepada kita bahwa semakin banyak capaian dakwah yang diraih, semakin tampak pula medan lebih luas yang belum terjangkau. Berikutnya, akan semakin banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi. Itu artinya semakin terbuka medan yang lebih luas untuk beramal dan memacu kerja serta mengerahkan seluruh potensi dan semakin besar tuntutan untuk menyatukan langkah, bersinergi dan beramal jamai. Ini memang erat kaitannya dengan cara kita memandang persoalan.

Mengingat berbagai kebaikan yang telah diraih untuk memotivasi kerja dan menumbuhkan asa, adalah mental petarung dan pejuang. Adapun hanya pandai menyebut-nyebut kekurangan dan melemahkan langkah perjuangan, adalah mental penonton dan pecundang.

Karenanya, di akhir surat ini Allah Ta'ala berpesan,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

"Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (QS. Adh-Dhuha)


Riyadh, Rajab 1433 H.

Indonesia: Surga Toleransi

Oleh: KH Hasyim Muzadi

Nahdlatul Ulama (NU) dan para penganut mazhab ahlusunnah waljamaah (aswaja) mengenalnya dengan istilah “tasamuh“ dan masyarakat Indonesia kebanyakan memaknainya dengan istilah “toleransi“.

Di kalangan NU, bersifat dan bersikap tasamuh bukan semata pilihan organisasi, tetapi sudah menjadi “laku“ yang melekat dalam kehidupan umat sehari-hari. Sifat tasamuh dalam bermuamalah dijadikan landasan. Bahkan, ketika teks-teks keagamaan mengenai muamalah tumbuh dalam praksis kemasyarakatan, sikap tasamuh didahulukan dibanding sikap-sikap positif lainnya.

Begitu kuatnya sikap tasamuh itu dalam praktik kehidupan sehari-hari, hingga muncul kesan seolah-olah mereka yang bersikap tasamuh sama dengan bersikap abu-abu alias tidak jelas.

Padahal, di situlah inti kehidupan. Ajaran Islam bisa diterima, salah satu sebabnya karena mampu berinteraksi dengan lingkungan secara damai. Istilahnya, berakulturasi dengan sehat. Bukan karena meyakini suatu kebenaran lalu menutup pintu munculnya tafsir berbeda atas kebenaran tersebut. Islam, karena itu, amat kuat menjunjung sikap tasamuh agar dapat menjadi solusi dan alternatif.

Demikian juga yang terjadi di tengah-tengah kita. Begitu biasanya bangsa ini bersifat tasamuh, hingga bermacam-macam “ideologi“ boleh tumbuh dan berkembang di negeri ini dengan bebas.

Namun begitu, ketika berkaitan dengan urusan prinsip, seperti masalah akidah keyakinan atau hal-hal yang mengancam konstitusi, maka bersikap toleransi dalam keyakinan dan pandangan menjadi tidak pada tempatnya. Ketika Orde Reformasi bergulir, keran kebebasan terbuka lebar sehingga beragam ideologi juga bebas masuk.

Situasi ini membuat Indonesia seperti pasar bebas yang kaya akan pilihan. Namun belakangan, karena sifatnya yang tidak tasamuh dan rigid serta terus mengklaim kebenaran hanya datang dari “pihaknya”, maka paham transnasional yang datang bergelombang sejak era reformasi, telah menyebabkan keresahan di beberapa daerah.

Kalau sebatas menyampaikan ajakan, tidak menjadi masalah. Urusan berubah menjadi masalah karena mereka mengusung ajaran yang menyebut keyakinan “penduduk“ asli sebagai ajaran sesat. Mereka bahkan menyediakan neraka bagi yang berada di pihak lain.

Dalam beberapa kasus, mereka malah mencaplok masjid yang sudah sekian lama menjadi tempat berbadah penduduk asli mazhab tasamuh. Mengambil sebagian ajaran Islam dan memasukkan ajaran lain yang bukan dari Islam. Tindakan semacam ini yang lantas mengganggu harmoni sosial yang sudah biasa bertasamuh.

Di satu-dua daerah, pemaksaan keyakinan dan kebenaran ini memunculkan aksi membela diri yang kadang berbau kekerasan. Ahmadiyah salah satu contoh dan GKI Yasmin, Bogor, contoh lainnya.

Begitulah kehidupan penuh toleransi itu berlangsung selama ratusan tahun. Paling kurang, ada beberapa agama yang mendapatkan pengakuan negara. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan belakangan Kong Huchu, adalah contohnya.

Kalau demikian, di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan? Jangan hanya gara-gara kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin, para kolonialis mengutuk kita negara yang intoleran dalam beragama.

Menjadi tidak beralasan jika sidang PBB di Jenewa, Swiss, lantas menuding Indonesia sebagai tidak toleran dalam praktik keberagamaan sehari-hari. Sebenarnya, tahukah mereka tentang toleransi di Indonesia? Tahu apa mereka soal Ahmadiyah di Indonesia dan kasus GKI Yasmin?

Penulis sungguh sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena ada laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, penulis belum bertemu negara Muslim setoleran Indonesia.

Bagaimana bisa mereka mengukur kehidupan keagamaan kita sementara mereka menggunakan ukuran yang tidak pas dan bahkan menyiapkan ukuran dengan desain mereka sendiri. Oleh sebab itu, penting dipertanyakan ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang PBB di Jenewa Swiss.

Kalau ukuran yang dipakai semata masalah Ahmadiyah, memang sejatinya Ahmadiyah sendiri telah menyimpang dari pokok ajaran Islam. Namun, mereka selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia.

Sementara kasus GKI Yasmin Bogor, Jawa Barat, juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia intoleransi beragama. Penulis berkali-kali berkunjung ke lokasi (GKI Yasmin), namun tampaknya mereka memang tidak ingin masalahnya selesai. Mereka lebih suka Yasmin jadi masalah nasional dan dunia daripada masalahnya selesai.

Kalau ukurannya pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua.

Jika yang dijadikan ukuran adalah protes konser Lady Gaga dan feminis Irsyad Manji, maka tidak ada bangsa di dunia ini yang mau tata nilainya dirusak orang lain.

Tidak ada bangsa manapun yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan intelektualisme kosong.

Kalau ukurannya HAM di Papua, mengapa TNI, Polri, dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM?

Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid. Indonesia lebih baik dari Prancis yang terus mengurus jilbab, dan lebih baik dari Denmark, Swedia, dan Norwegia yang tak menghormati agama karena di sana ada UU perkawiman sejenis.

Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis? Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia dan kaum Muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar humanisme dan mana yang sekadar Westernisme?

Sungguh disayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM PBB yang menyebut Indonesia intoleran dalam beragama dalam sidang tinjauan periodik universal II (Universal Periodic Review UPR) di Jenewa, Swiss.  

Wallaahu a'lamu bish-showaab.[]

*REPUBLIKA (edisi cetak Ahad 3/6/12)