Jama'ah Penuh Berkah

Tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar tsiqah antara qiyadah dan jundiyah menjadi penentu bagi sejauh mana kekuatan sistem jamaah, kemantapan langkah-langkahnya, keberhasilan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya, dan kemampuannya dalam mengatasi berbagai tantangan dan kesulitan.

Bekerja Untuk Indonesia

Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (9:105)

Inilah Jalan Kami

Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik. (12:108)

Biduk Kebersamaan

Biduk kebersamaan kita terus berjalan. Dia telah menembus belukar, menaiki tebing, membelah laut. Sayatan luka, rasa sakit, air mata adalah bagian dari tabiat jalan yang sedang kita lalui. Dan kita tak pernah berhenti menyusurinya, mengikuti arus waktu yang juga tak pernah berhenti.

Kesungguhan Membangun Peradaban

Semua kesungguhan akan menjumpai hasilnya. Ini bukan kata mutiara, namun itulah kenyataannya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang diusahakan dengan sepenuh kesungguhan.

Senin, 17 Oktober 2011

HARAPAN DAN CITA-CITA PASCA DM I KAMMI


Oleh: Afrinaldo (Staff Dept. Kaderisasi KAMMI Riau)

Dalam rentang waktu tiga hari belakangan ini adalah momen penting bagi perjalanan gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Riau untuk tetap produktif menghasilkan kader-kader baru yang akan melanjutkan tonggak estafet perjuangan KAMMI kedepan. Pada kenyataannya, ini adalah perwujudan dari konsistensi gerakan KAMMI di bumi melayu yang kita cintai ini.

Kegiatan yang berlangsung selama lebih kurang tiga hari itu akrab disapa dengan nama DM I, singkatan dari Dauroh Marhalah I. Yang secara sederhananya dapat diartikan sebagai Latihan Kepemimpinan tingkat dasar. Di dalam panduan gerakan KAMMI, DM I merupakan pintu gerbang bagi para mahasiswa untuk dapat memasuki sebuah bangunan besar dari gerakan KAMMI. Yang namanya pintu gerbang pastilah merupakan batas antara orang-orang yang berada di luar dengan orang yang ada di dalam bangunan. Maka sebuah kemestian bahwa apa yang dirasakan oleh orang yang berada di dalam bangunan akan berbeda dengan apa yang dirasakan oleh orang yang berada di dalam bangunan, termasuk cara pandang dan aktivitas yang dijalani.

Dalam rangka mempersiapkan orang-orang yang masuk ke dalam bangunan KAMMI, disediakan semacam ujian awal agar tidak latah dan berbalik ke belakang karena tidak semuanya apa yang dilihat indah dari luar bangunan akan juga terlihat indah ketika kita sudah berada di dalam bangunan. Paling tidak ini merupakan salah satu hal yang melatar belakangi terciptanya sistem perekrutan kader baru yang berupa Dauroh Marhalah (DM).
Banyak hal yang dirasakan dan terjadi dalam proses pelaksanaannya. Dari sana kemudian akan terjadi proses penyaringan siapa orang-orang  yang berhak dan siapa orang-orang yang tidak berhak untuk masuk ke dalam bangunan. Setiap orang yang akan masuk harus melalui tahapan demi tahapan. Yang setiap tahapannya merupakan bagian dari proses penempaan diri seorang muslim agar setiap sifat yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah SAW dalam merealisasikan isi kandungan dari Al-Qur’an terinternalisasi dalam dirinya. Yang di ujung perjalanannya diharapkan akan terlahir pribadi yang berhak disebut sebagai sosok “Muslim Negarawan”.

Banyak kejadian menarik dalam setiap kegiatan penyaringan. Sosok-sosok pemuda yang memiliki kepedulian dan pemikiran brilian mulai tampak ke permukaan. Potensi yang selama ini terpendam memancar keluar tanpa bisa dihentikan dan ditutup-tutupi. Masa depan cerah Indonesia seakan perlahan tapi pasti terlihat dari sini, di tempat ini dan insyaallah akan diwujudkan dari tangan-tangan yang rindu akan perbaikan dan kejayaan bangsa ini. Cita-cita kemerdekaan bangsa yang belum sepenuhnya terwujud secara keseluruhan menjadi salah satu tujuan mulia para pemuda generasi robbani perubah kondisi bangsa Indonesia ini. Menjadi sosok yang mampu menjadi teladan di tengah masyarakat, menjadi teladan bagi organ gerakan mahasiswa kebanyakan dan mampu menjadi pelopor penerapan solusi Islam dalam setiap permasalah kehidupan manusia.

Dalam setiap usaha yang dilakukan oleh setiap anak manusia, tetap sebagai penentu dari hasil akhirnya adalah kuasa penuh dari Allahu Robbi Yang Maha Berkuasa atas segalanya. Harapan kita semua adalah segala yang telah diusahakan mendapat kridhoan dari Allah SWT. Apapun dan bagaimanapun hasil yang akan Allah putuskan dari semua usaha ini, tidak akan menghentikan langkah kita untuk tetap bekerja dan berkarya di setiap wadah yang kita tergabung didalamnya.

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan(QS.9:105)

Pekanbaru, 16 Oktober 2011
Afrinaldo108@gmail.com
* Didedikasikan untuk seluruh Instruktur, pengurus komsat, panitia pelaksana dan kader yang terlibat dalam pelaksanaan Dauroh Marhalah I (DM I) dalam cakupan KAMMI Daerah Riau.

Sabtu, 19 Februari 2011

Momen Indah untuk Merenung

Oleh: Afrinaldo

Sebuah peristiwa alam yang unik dan terlalu indah untuk dilukiskan. Dimana langit berwarna kuning keemasan. Momen dimana sang Khaliq mengganti kondisi terang menjadi kondisi yang gelap. Momen yang menakjubkan! Dimana Allah menunjukkan salah satu tanda kekuasaan-Nya pada manusia agar manusia bersyukur kepada-Nya. “Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam…”(QS. Ali Imron:27). Dalam gelap manusia bisa beristirahat, dalam gelap manusia bisa terlelap, dan dalam gelappun manusia menitipkan harap, agar selamat ketika datang waktu manusia untuk di hisab.

Waktu yang telah kita lalui tidak akan pernah kembali lagi. Itu kenyataannya. Namun, yang perlu kita pikirkan adalah sudah berapa banyak waktu kita terbuang untuk kesia-siaan dan berapa banyak waktu sudah kita manfaatkan untuk kebaikan. Karena akan tiba saatnya, jatah waktu ini akan diminta pertanggung jawaban oleh Yang Maha Memiliki segalanya. Ketika saat itu datang, banyak jiwa-jiwa yang akan menyesal akibat waktu yang telah dibuang sia-sia.

Setiap manusia mempunyai dua wadah dasar yang relatif sama, waktu dan fisik. Tapi setiap orang mengelola keduanya, itulah yang memberikan hasil yang berbeda. Waktu adalah kehidupan. Setiap manusia diberikan kehidupan sebagai batas masa kerja dalam jumlah yang berbeda-beda, yang kemudian kita sebut dengan umur yang terbentang dari kelahiran hingga kematian. Tidak ada manusia mengetahui akhir dari batas masa kerja itu, yang kemudian kita sebut ajal. Hal itu menciptakan suasana ketidakpastian, tetapi itulah aset paling berharga yang kita miliki (Anis Matta).

Dalam kenyatannya banyak manusia –terutama umat Islam– sangat tidak menghargai waktu yang telah Allah berikan. Ketika ingin menyimpan uang di sebuah bank yang terletak di perbatasan dua kota, tampak dengan jelas di papan pengumuman yang tergantung di depan bank bahwa jam istirahat bank mulai jam 12.00-13.30. Namun, waktu telah menunjukkan lebih dari pukul 13.30. banyak nasabah bank yang kepanasan menunggu di luar. Saya memperhatikan sekilas aktifitas nasabah bank yang sedang menunggu. Ada ibu hamil yang berdiri dengan anaknya, ada dua orang laki-laki yang asyik membicarakan tentang Pilkada yang sebentar lagi akan digelar,  ada yang sedang menelpon, dan macam-macam aktifitas lainnya. Dari sekian banyak nasabah yang menunggu, tidak satupun yang saya temui berusaha memanfaatkan waktu menunggu untuk aktifitas berguna seperti membaca buku. Mungkin inilah salah satu kelemahan bangsa Indonesia. Kita perlu banyak berkaca kepada bangsa Jepang. Dalam kereta api, restoran, rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan tempat lainnya banyak kita temukan  orang-orang yang sedang asyik membaca buku. Inilah kunci suksesnya. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Tidak ada fisik yang terdiam percuma. Dan Rasulullah Saw. sudah jauh-jauh waktu mengingatkan kepada kita supaya jangan menyia-nyiakan aset berharga yang kita miliki ini. “Manusia banyak terkecoh dalam dua hal, kesehatan dan waktu luang.” (HR. Imam Bukhari).

Sekarang kembali tanyakan kepada diri kita. Sudah berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia dan sudah berapa banyak waktu yang telah dimanfaatkan untuk kebaikan. Ada baiknya kita mencontoh perilaku Amirul Mukminin Umar bin Khatab r.a. Setiap beliau ingin keluar rumah, ada kebiasaan unik yang selalu dilakukannya. Beliau membawa kantong atau tas yang selalu dibawanya kemana-mana. Setiap beliau merasa melakukan sebuah kemaksiatan, maka dimasukkannya batu kecil ke dalam kantong yang dibawanya. Dan saat merasa melakukan sebuah kebajikan, maka dikeluarkannya satu batu kecil dari kantongnya. Ketika malam tiba, Amirul Mukminin Umar bin Khatab r.a memeriksa kondisi kantong yang seharian dibawanya. Jika ada batu di dalamnya, beliau mengeluarkannya satu per satu sambil beristighfar memohon ampun kepada ALLah Swt. Ini salah satu gambaran sahabat Rasulullah Saw. yang telah dijamin masuk surga. Begitu teliti beliau dalam menghitung setiap kebaikan dan kemaksiatan yang telah dilakukannya. Lalu bagaimana dengan kita, belum ada jaminan dari Allah untuk bisa masuk surga, belum ada amalan terbaik yang bisa kita banggakan dihadapan Allah Swt, berapa banyak dosa telah kita perbuat kepada-Nya. Tapi apa yang telah kita perbuat dalam setiap detik waktu yang telah diberikan Allah Swt. kepada kita.

Ibarat menempuh sebuah perjalanan yang panjang, fisik kita berfungsi sebagai kereta, dan waktu yang terbentang jauh atau dekat, seperti rel kereta. Seorang masinis boleh menentukan stasiun terakhir yang kita tuju, tetapi dia harus menjamin bahwa kereta yang dikemudikannya dan rel yang akan dilewatinya benar-benar dalam keadaan baik. Masinis itu adalah diri kita. Sekarang kitalah yang akan menentukan akhir dari perjalanan ini. Apakah kita lebih memilih keluar dari rel yang telah ditentukan, atau memilih untuk konsisten berjalan di atas rel yang akan membawa kita sampai ke stasiun akhir kehidupan yang indah dan penuh dengan sambutan terbaik yang belum pernah sekalipun kita rasakan di atas dunia ini. Wallahu’alam. 

Selasa, 15 Februari 2011

Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi

Kisah Seorang Pemeriksa Pajak Melawan Korupsi Sebagai Pegawai Departemen Keuangan

Saya tidak gelisah dan tidak kalangkabut akibat prinsip hidup korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, kami tenang saja.

Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali.Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita sepertinya sengsara, tapisebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling tidak yang saya rasakan langsung.

Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan . Saya ketika itu mungkin termasuk generasi pertama yang mencoba menghilangkan danmelawan arus korupsi yang sudah sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras.

Saya punya prinsip satu saja, karena takut pada Allah, jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu saja yang selalu ada dalam hati saya. Kalau ingat prinsip itu, saya selalu menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena isteri juga aktif dalam pengajian keislaman.

Sejak awal ketika menikah, saya sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi. Dari awal saya sudah berusaha menanamkan komitmen kami seperti itu. Saya juga sering ingatkan kepada isteri, bahwa kalau kita konsisten dengan jalan yang kita pilih ini, pada saat kita membutuhkan maka Allah akan selesaikan kebutuhan itu. Jadi yg penting usaha dan konsistensi kita. 

Saya juga suka mengulang beberapa kejadian yg kami alami selama menjalankan prinsip hidup seperti ini kepada istri. Bahwa yg penting bagi kita adalah cukup dan berkahnya, bahwa kita bisa menjalani hidup layak. Bukan berlebih seperti memiliki rumah dan mobil mewah. Menjalani prinsip seperti ini jelas banyak ujiannya. Di mata keluarga besar misalnya, orangtua saya juga sebenarnya mengikuti logika umum bahwa orang pajak pasti kaya. Sehingga mereka biasa meminta kami membantu adik-adik dan keluarga.

Tapi kami berusaha menjelaskan bahwa kondisi kami berbeda dengan imej dan anggapan orang. Proses memberi pemahaman seperti ini pada keluarga sulit dan membutuhkan waktu bertahun-tahun. Sampai akhirnya pernah mereka berkunjung ke rumah saya di Medan , saat itulah mereka baru mengetahui dan melihat bagaimana kondisi keluarga saya, barulah perlahan-lahan mereka bisa memahami. Jabatan saya sampai sekarang adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak.

Kalau dibandingkan teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V. Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan atasan, maka kondite saya dimata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, dianggap tidak baik dan jatuh.

Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak seperti mereka.

Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi belakangan, setelah sekian tahun barulahketahuan, kita sudah dikhianati. Cara seperti in seperti sudah direkayasa.

Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.

Saya pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang dalam amplop pada anak-anak saya.

Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa anak-anak. Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah perusahaan besar.

Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru menyebabkan masyarakat rugi.

Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun sama seperti perusahaan lain. Karena dirasasulit mempengaruhi sikap saya, kemudian dia memakai logika lain lagi.

Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara untung, karena ada uang yang masuk negara. Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunyaanggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. Meski saya jugasadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, laporan itu akan tetap sah.

Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya dipanggil oleh atasan dan disidang di depankepala kantor. Dan ini yang amat berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak bersih memang direncanakan.

Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang sudah lama bersahabatdan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, “Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik.” Saya katakan, “Tdak munafik bagaimana Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi.” emudian ia sampaikan terus terang bahwa uang yangselama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah uang dari klien.

Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kacuali yang memang sudah sama-sama punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, tapi karena kami tahu persis bahwamereka perlahan-lahan menggiring ke arah yang mereka mau. Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan kata-kata apa pun, saya pulang.

Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada isteri saya di rumah. Ketika mndengar cerita saya itu, isteri langsung sujud syukur. Ia lalu mengatakan “lhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya pakai,” katanya Ternyata di luar pengatahuan saya,alhamdulillah, amplop-amplo itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun.

Jadi amplop-amplop itu disimpan di sebuah tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta.

Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan. Saya menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum itu, sayalempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di lantai. Saya katakan, “Makan uang itu satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian.”


Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa pajak. Itu berjalan sampai sekarang.

Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda untuk menggunakan uang yang tidak jelas. Ada pengalaman lain yang masih saya ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitumendesak.

Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik- detik terakhir harus membayar uang rumah sakit untuk membawa istri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang serupiah pun.

Saya mau bicara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. Sebelumnya kami lama sekali tidak pernah jumpa. Diadapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka dia sempatkan datang ke rumah sakit.

Wallahu a’lam apakah dia sudah diceritakan kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan isteri yang sudah lunas.

Alhamdulillah. Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana?

Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan kebutuhanitu pada detik terakhir. Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana kabar dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, “Kenapa tidak bilang-bilang?” Saya sampaikan karena tidak sempat saja.

Setelah teman itu pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah. Saya berusaha tidakterjatuh ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini Ketika harus bayar, akhirnya mereka terjerat korupsi juga.

Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau terjebak begitu, Saya berusaha dari awal tidak demikian.Saya berusaha cari usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya. Isteri saya juga bekerja sebagai guru. Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah.

Dengan pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan bercanda, “Uang setan ya dimakan hantu.” 

Dari percakapan seperti itu ada juga yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yangsemula mewah lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.

Ada juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memerasdan tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa memberikan uang sebesar itu.

Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau atasan langsung biasanya memberi uang hari Jumat atau akhir pekan. Istilahnya kurang lebih uang Jumatan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang lebaran dan sebagainya.

Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang sulit berubah. Mereka termasuk rajinsholat, puasa sunnah dan membaca Al-Qur?an. Tetapi mereka sulit berubah. Ternyata hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain.

Meski secara ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan. Yang sangat dramatis, saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana- sini. Dia pun terjebak dan merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan.

Terakhir, dia ditangkap polisi ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang dipecat dan dipenjara. Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan jihad untuk hidup yang bersih. Kita harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja.

Kiatnya hanya satu, terus menerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Sayaberharap, mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya berkaca-kaca) .

Sumber: ( Majalah Tarbawi Edisi 111 Th. 7/ 

Senin, 14 Februari 2011

Canggung di Permulaan, Angkuh Kemudian

Saat pertama kali kita belajar mengendarai sepeda, ada rasa canggung dan cenderung lebih hati-hati dalam mengendarainya. Ketika sudah agak mahir kita mulai mencoba mengendarainya di jalan yang ramai dengan kendaraan, maka setiap berhadapan dengan sepeda motor atau mobil akan ada rasa was-was dan khawatir karena kemampuan kita bersepeda belum terlalu mahir. Saat berpapasan dengan kendaraan di jalan yang sempit, kita takut jika nantinya tersenggol atau tertabrak kendaraan dan mungkin lebih memilih untuk berhenti sejenak hingga jalan sempit tersebut tidak lagi dilalui kendaraan.

Seiring berjalannya waktu, kitapun semakin mahir dalam mengendarai sepeda dengan berbagai macam kondisi jalan yang dilalui. Karena sudah sangat mahir mengendarai sepeda, kitapun ingin mencoba ber-atraksi dengan cara mengangkat roda depan sepeda saat berkendara, ngebut di jalanan, dan cara lain yang lebih menantang. Bahkan, kita mulai tertarik untuk mengendarai sepeda motor dan begitu seterusnya. Inilah yang kita rasakan pada saat belajar mengendarai sepeda, walaupun dengan pengalaman yang berbeda-beda.


Hal yang sama juga kita alami saat menjalani setiap potongan kehidupan. Pada saat pertama kali menjalani perkuliahan, memulai bisnis baru, atau hari pertama masuk kerja, rasa canggung senantiasa menggelayuti kita. Karena itu, kita cenderung bertindak hati-hati dan bersikap ramah agar tidak salah dalam bekerja. Namun, seiring bertambahnya waktu dan pengalaman hidup, kita cenderung melupakan sikap hati-hati dan sikap ramah yang kita dapatkan pada saat awal belajar menjalani aktivitas dan pekerjaan yang baru dijalani. Mahasiswa yang telah senior berlaku sewenang-wenang terhadap mahasiswa yang baru masuk, seorang atasan memaki-maki bawahannya yang tidak mencapai target pekerjaan yang telah direncanakan, dan karena ingin memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, seorang pedagang rela memanipulasi timbangan, bahkan mau berbohong agar barang dagangannya laku di pasaran. Banyak godaan yang menghampiri ketika kita berada di tengah perjalanan hidup. Jika tidak dibarengi dengan keimanan yang kuat, maka hidup yang kita lalui bisa jadi akan menjadi malapetaka bagi kehidupan orang lain, dan itu jarang kita sadari. Maka, yang harus kita lakukan adalah jangan pernah berhenti menjadi pembelajar agar kita menjadi orang yang memiliki kerendahan hati. Seperti ilmu padi, semakin berisi akan semakin merunduk. Wallahu’alam.



Oleh: Afrinaldo
Afrinaldo108@gmail.com

Selasa, 08 Februari 2011

Rahasia Ketenangan Jiwa

Oleh: afrinaldo
3 Februari 2011

Saat pergantian hari yang ditandai hilangnya cahaya matahari dan berganti cahaya rembulan. Selepas menunaikan kebutuhan seorang hamba akan pertemuan dengan Tuhannya. Ada hal yang membuat hati menjadi tentram karenanya. Sekelompok manusia yang baru selesai menunaikan hak Tuhannya, berkumpul guna melepas dahaga iman dengan mendengarkan untaian nasehat yang akan disampaikan oleh sang guru. Sebelum mendengar nasihat sang guru, salah seorang dari kelompok itu membuka majelis yang mulia itu dengan kalimat-kalimat yang mengajak kita untuk mengingat apa yang telah dan akan kita lakukan dalam hidup ini. Setelah selesai mengantarkan wejangan pembuka, majlispun kini diserahkan pada Sang Guru. Sang Guru  memulai dengan kata-kata yang lembut namun menawan untuk disimak. Untaian-untaian kalimat tauhid mengalir dari lisannya. Sang Guru pada majlis yang mulia itu menyampaikan beberapa rahasia yang sesungguhnya menjadi kunci manusia untuk menggapai ketenangan jiwa. Sang Guru sesekali mengutip perkataan Rasulullah Saw. Beliau mengajak semua yang hadir untuk merenungkan sebenarnya manusia tidak akan bisa menafikkan kebutuhannya akan Tuhan yang telah menciptakan dirinya dan menyediakan tempat mereka tinggal untuk sementara waktu hingga dipanggil kembali keharibaannya. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah kebanyakan dari manusia lupa akan siapa yang menciptakannya, untuk apa dia diciptakan, kemana hidupnya bermuara dan yang terpenting adalah akan ada pertanggungjawaban atas apa yang telah diberikan-Nya kepada manusia. Entah itu berupa jasad, fasilitas hidup di dunia, keluarga dan bahkan yang sering dilupakan oleh manusia yakni kesehatan dan waktu yang merupakan jatah masa kerja manusia di dunia. Banyak dari manusia yang begitu menggebu-gebu ingin mendapatkan semua kenikmatan yang ada di dunia ini. Pada hakekatnya yang dilakukannya ialah ibarat menangkap bayangannya sendiri. Begitu besarnya keinginannya untuk menangkap maka saat itu pula bayangan itu lari menjauhinya.

Hidup adalah anugerah dari Yang Maha Pencipta. Ketenangan jiwa akan dapat diraih manakala manusia bisa memanfaatkan anugerah yang telah diberikan untuk mengerjakan apa yang dikehendaki oleh Sang Khalik. Tuhanpun akan murka manakala fasilitas hidup itu hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, bahkan yang lebih parah lagi fasilitas hidup yang telah diberikan Sang Khalik digunakan untuk menyesatkan dan menghalangi manusia dari jalan-Nya. Semoga kita terlindung dari dari azab Yang Maha Pencipta. Wallahualam bishowab.

Pemuda Harapan Bangsa (Renungan dari kondisi Realitas Bangsa Indonesia)

Oleh: Afrinaldo*

Perjalanan yang sangat mengesankan beaktifitas bersama perwakilan pemuda dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Hari ini awal langkah dari kegiatan PPKPI tingkat Nasional yang dimulai dengan aktifitas apel pagi di Gedung Plaza Kemenpora RI.

Awal keberangkatan dari Wisma Handayani tempat peserta PPKPI menginap menuju lokasi pembukaan nyaris tidak ada hambatan dalam perjalanan. Dalam rangkaian kegiatan apel pagi, sebuah momen penting secara pribadi saya bersalaman dan berbicara langsung dengan Menpora bapak Andi Malarangeng. Entah darimana awalnya tiba-tiba bapak Menpora muncul dari samping gedung bertepatan dengan tempat dimana saya duduk. Bertemu dengan Ketua Umum KAMMI Pusat, menyaksikan penampilan dari KILLA team dan lainnya. Apel pembukaan pekan Hari Sumpah Pemuda dibuka langsung bapak Andi Malarangeng setelah sebelumnya memberikan sambutan selaku Pembina Apel.

Dalam perjalanan pulang menuju Wisma Handayani, baru pertama kali saya merasakan suasana jalanan macet di ibukota Jakarta. Jalanan macet menghabiskan waktu kira-kira 4 jam untuk sampai di Wisma Handayani. Saya baru paham mengapa BBM terbesar dikonsumsi oleh kendaraan warga Ibukota, sebabnya karena kendaraan tetap mengkonsumsi BBM tapi ga jalan-jalan (hmm…macet-macet). Ini juga merupakan awal pekerjaan rumah kita sebagai pemuda harapan bangsa di masa depan untuk memulai proyek besar dalam memperbaiki karakter pemuda bangsa Indonesia.

Sebahagian kecil dari rangkuman kegiatan yang telah dijalani di PPKPI, maka ada sedikit catatan untuk kita bersama sebagai titik tolak atau pijakan awal dalam proses kita melangkah ke depan:
1.      Pemuda alasan utama untuk keoptimisan dari proses perubahan sebuah bangsa. (ingat kata-kata Soekarno: “Berikan aku 10 pemuda, maka akan aku guncang dunia”)
2.      Pekerjaan rumah terbesar kita hari ini adalah bagaimana mendistribusikan dan merealisasikan hasil yang telah di dapat selama PPKPI ke daerah masing-masing
3.      Kemandirian pemuda adalah hal yang patut untuk dikembangkan sebagai salah satu solusi konkrit tujuan pembangunan Pemuda.
Belum banyak gagasan dan solusi dari permasalahan pemuda hari ini. Maka dari itu, kepada seluruh alumni PPKPI segeralah berdiri di depan cermin dan katakan pada sosok yang ada disana,: “Kamu adalah Solusi dari Permasalahan Bangsa Ini.”

Pemuda…
Maju.
Bangsa…
Jaya.
Siapa Kita…..?
Indonesia. 3x

Note:
* Peserta PPKPI dari Provinsi Riau

WAJIBATUL AKH AL-MUSLIM

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan sepenuhnya” (QS. An-nisaa : 65)

Kewajiban merupakan kebutuhan bagi orang yang telah mengetahui arti pentingnya, bagi orang yang telah merasakan kenikmatannya, dan bagi orang yang telah mendapatkan hikmah di baliknya, sebaliknya kewajiban menjadi beban bila tidak dibarengi dengan jiwa yang lapang, hati yang ikhlas, dan perasaan yang ridho, senang dan gembira menyambut seruan Allah SWT dan Rasulnya. Seperti halnya kewajiban hidup di bawah naungan Al-Qur’an dengan menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya, sesungguhnya merupakan kenikmatan dan rahmat dari Allah SWT, sebagaimana ungkapan As-Syahid Sayyid Qutub dalam muqaddimah tafsir Dzhilalnya :
“Al-Hayaatu fi dzhilali Qur’ani ni’matun, ni’matun laa ya’rifuhaa illaa man dzaaqahaa, tubaarikul ‘umra wa tunmiihaa” (Kehidupan di bawah naungan al-Qur’an adalah kenikmatan, kenikmatan yang hanya dapat diketahui oleh orang yang mereguk cita rasanya, kenikmatan yang memberkahi usia dan memproduktifkannya).

Imam as-Syahid Hasan Al-Banna merumuskan tujuh butir kewajiban asasi bagi seorang Al-Akh, di mana masing-masing butir terjabarkan sedemikian rupa dengan cukup rinci dan detail. Tentu saja kewajiban tersebut hanya ditekankan taklifnya kepada “Al-Akh” yang telah melampaui proses takwiniyah minimal sampai marhalah intisab, yang dianggap telah bermu’ayasyah dengan kewajiban Al-Akh pada marhalah sebelumnya hingga proses taqwim intisabnya. Sebagaimana ungkapan Imam as-syahid dalam Muqaddimah “Risaalah at-ta’lim wal Usar” :
“Fahaadzihi risaalatii ilal ikhwaanil mujaahidiin, minal Ikhwaanil muslimiin, alladziina aamanuu bisumuwwi da’watihim wa qudsiyyati fikratihim, wa ‘azamuu shadiqiina ‘alaa an ya’iisyuu bihaa, au yamuutuu fii sabiilihaa, ilaa haaulaail ikhwaani faqoth uwajjihu haadzihil kalimaatil muujazah, wa hiya laisat durusan tuhfadzh walaakinnahaa kalimaatun tunfadz, fa ilal ‘amali ayyuhal ikhwatisshadiquun…”. (Inilah risalahku, kutujukan kepada anggota ikhwan yang bersungguh-sungguh, yang mengimani keluhuran da’wahnya, kesucian fikrahnya, keseriusan tekadnya untuk senantiasa hidup bersamanya atau mati di jalannya, hanya kepada seluruh ikhwan saja (A’dho) aku haturkan pesan ringkas ini (Risalah ta’lim wal usar), dan semua ini bukanlah pelajaran untuk dihafal, melainkan ta’limat yang harus dilaksanakan, oleh karena itu bersegeralah kepada ‘amal wahai ikhwah sejati….”)

Kata-kata “minal Ikhwan” dalam ungkapan di atas, ditekankan oleh Imam Hasan al-Banna dalam rangka tawaddhu dan menjauhi sikap ‘ujub dan takabbur, artinya Imam as-syahid tidak menutup kemungkinan bahwa “Al-Ikhwan al-Mujahidiin” juga muncul di luar IM, Oleh karenanya kita tidak boleh “ghurur” hanya dengan kebesaran nama IM, untuk ini kita sering diingatkan oleh taushiah para syuyukh : “Kam fiinaa laisa minnaa wa kam minnaa laisa fiinaa” (Berapa banyak orang bersama kita (IM) tapi pada hakekatnya mereka “bukan dari kita” dan sebaliknya berapa banyak orang diluar kita (IM) tapi pada hakekatnya mereka bersama kita).

A.     Kewajiban Al-Akh terhadap Rabb
1.      Di antara kewajiban terhadap Rabb yang dapat mendorong terlaksananya kewajiban-kewajiban lainnya adalah senantiasa merasakan adanya muroqobatulloh, (As-Syu’ara : 219 – 220, Al-Hadid : 4, Ali Imron : 6, Al-Fajr : 14, Ghafir ; 19 ). Ketika seorang Al-Akh senantiasa merasakan muroqobatulloh maka keikhlasan niat akan mewarnai setiap amal perbuatannya (Al-Bayyinah : 5, Al-Hajj : 37, Ali Imron : 29). Keikhlasan yang tulus akan menguatkan ingatan tentang akherat dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapinya dengan taqarrub kepada Allah dan dengan memperbanyak amalan sunnah, memperbanyak dzikir dalam segala situasi dan kondisi serta melazimkan do’a matsur dari Rasululloh SAW. Ditambah dengan “Al-aurad Al-Ikhwaaniyah” yang senantiasa dibaca dan tidak meninggalkannya kecuali dalam keadaan yang sangat darurat atau terpaksa.

2.      Hendaknya seorang Al-Akh dalam menyempurnakan kewajibannya kepada Allah SWT senantiasa menjaga dan memelihara “Thaharah hissiyyah dan ma’nawiyyah”, thaharah hissiyyah dengan berwudhu dan mendawamkannya ( Al-maidah : 6 ) sedangkan thaharah ma’nawiyyah dengan menjaga hati dan lisan dari dzhon, tajassus dan ghibah ( Al-Hujurat : 12), juga dengan membuang sikap hasad, sebagaimana hadits nabi mengatakan: “Iyyaakum wal hasada fa innal hasada ya’kulul hasanaat kama ta’kulunnarrul khatoba’ (jauhilah olehmu Hasad karena Hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar).

3.      Kewajiban lainnya adalah membaguskan shalat dengan menunaikannya pada waktunya dan bersungguh-sungguh ke masjid untuk menunaikannya secara berjamaah, Rasulullah SAW memotivasi ummatnya untuk shalat berjamaah dengan 27 derajat dibanding shalat sendirian, bahkan lebih afdhal lagi bila hal itu dilakukan di Masjid sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Al-Hakim : “Idzaa ra’aitumurrajula ya’taadul masjidafasyhaduu lahu bil iiman” (apabila engkau melihat seseorang membiasakan pergi ke Masjid maka saksikanlah oleh kalian keimanannya). Sedangkan shalat yang harus diperhatikan oleh seorang Al-Akh bukan hanya semata-mata dari aspek mengerjakannya, tetapi yang lebih penting dari itu adalah aspek menegakkannya dengan menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar. As-Syekh Mutawaali Sya’rawi salah seorang ulama pakar tafsir tematik mengatakan bahwa firman Allah yang menyatakan “Innasshalaata tanha anil fakhsyaa’i wal munkar” itu bisa dibalik pengertiannya menjadi “Innal fakhsya’a wal munkar tanha ‘anisshalaati”, artinya shalat yang sungguh-sungguh dan disertai dengan merenungkan hakekatnya dapat mencegah perbuatan yang keji dan munkar, sebaliknya perbuatan yang keji dan munkar dapat mencegah pelakunya dari kesungguhan dan hakekat shalat yang ditunaikannya.

4.      Setiap bulan Ramadhan ada kewajiban bagi Al-Akh untuk menunaikan ibadah puasa seoptimal dan sebaik mungkin kemudian setiap bulan Dzul Qa’dah dan Dzulhijjah Al-Akh yang mampu dari segi materi berkewajiban menunaikan haji ke Baitullah atau mempersiapkannya untuk dapat menunaikannya kelak di kemudian hari dengan bersungguh-sungguh bekerja dan mencari maisyah (Ali Imron : 97, Al-hajj : 27).

5.      Hendaknya pula seorang Al-Akh senantiasa memperbaharui taubat dan istighfar, menjauhkan diri dari dosa–dosa kecil apalagi dosa besar (An-nisaa : 17 – 18, Ali Imron : 135)

6.      Hendaknya pula seorang Al-Akh mengoptimalkan waktunya karena “Al-Waqtu hual hayah”, waktu adalah kehidupan itu sendiri, kemudian bersikap wara’ dari segala syubuhat sehingga tidak jatuh kepada yang haram.

7.      Hendaknya seorang Al-Akh bermujahadah li nafsihi, mengarahkan kecenderungan nafsu senantiasa kepada yang halal dan baik, sehingga terhindar dari segala yang haram dimana saja kapan saja, lebih dari itu hendaknya seorang Al-Akh senantiasa berniat untuk jihad dan mempersiapkan diri semampunya untuk itu (Al-Anfal :60).

B.     Kewajiban terhadap Badan
            ”Inna lijasadika ‘alaika Haq”, sesungguhnya bagi jasadmu ada hak, itulah nasehat Rosulullah SAW kepada seorang sahabat yang ingin berpuasa terus sepanjang hari. Di antara hak jasad yang menjadi kewajiban seorang Al-Akh adalah menjaga dan memeliharanya dari segala penyakit, “wa sihhataka qobla saqamika” dan sehatmu sebelum sakitmu demikan nasehat Rosululloh SAW untuk senantiasa memelihara kesehatan badan.
1.      Untuk menjaga keseimbangan badan hendaknya seorang Al-Akh tidak berlebihan dalam mengkonsumsi kopi, teh dan sejenis minuman seperti itu lainnya (Soft drink), sedangkan rokok harus benar-benar dihindari sama sekali, selain itu juga menjaga kebersihan badan, tempat, pakaian, makanan dan lain-lainnya, karena “Buniaddinu ‘alannadzhafah” (Dibangun Din itu di atas kebersihan).

2.      Banyak berolah raga walaupun hanya sekedar berjalan kaki, mencegah dari mengkonsumsi khamr dan apa saja yang memabukkan. Semua kewajiban terhadap badan tidak lain dimaksudkan agar Al-Akh senatiasa fit dan prima dalam menjalankan ibadah dan tugas da’wah, karena sesungguhnya Ikhwah adalah SDM yang mahal, sekian lama terbina dan bila pada saat-saat tenaga dan fikirannya sangat dibutuhkan dalam da’wah kemudian tiba-tiba tidak produktif dan optimal lantaran kesehatan sangatlah disayangkan. “Al-mu’minul Qowiyyu khoirun wa ahabbu ilallahi minal mu’minddhoifi” (Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada Mu’min yang lemah) Hadits Nabi.

3.      Kewajiban Al-Akh dalam memelihara dan menjaga kondisi badannya pada prinsipnya adalah mengatur keseimbangan, agar suplai makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak berlebihan sehingga menimbulkan isyraf dan juga tidak kekurangan sehingga mendzhalimi diri sendiri, terlalu berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, apalagi bukan kategori makanan yang menyehatkan. Melainkan yang hanya sekedar memenuhi standar halal tapi tak baik untuk dikonsumsi, seperti sejenis makanan fast food, mie Instan dll. Padahal kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengkonsumsi makanan yang “Halalan Thayyiban”. Perintah Allah tersebut bukan hanya sekedar sebuah syariat, tetapi terbukti hikmahnya dapat menjamin kesehatan seseorang, karena kesehatan itu pangkalnya di perut yang menjadi tempat segala jenis makanan dan minuman, sebagaimana sabda Rosulullah SAW : “Maa ro’aitu wi-aa’a rajulin sarran min bathnihi” (Tidaklah aku melihat wadah seseorang yang lebih buruk dari perutnya). Oleh karena itu memilih jenis makanan yang sehat juga merupakan kewajiban seorang Al- Akh agar terpelihara badannya dari segala penyakit. Misalnya membatasi makanan yang mengandung lemak dan kadar kolesterol tinggi, karena hal itu lama kelamaan akan mengakibatkan penyempitan pembuluh darah dan memicu munculnya penyakit jantung koroner. Sebaliknya memperbanyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan sangat bagus untuk pencernaan.

4.      Kesimpulannya adalah Al-Akh harus menjaga keseimbangan tubuh agar sesuai antara suplai dan energi yang dikeluarkan. Insya Allah seorang Al-Akh banyak mengeluarkan energinya untuk da’wah baik energi fisik maupun pikiran, bahkan energi pikiran termasuk hal yang dominan terkuras dari diri Al-Akh. Oleh karenanya menjaga keseimbangan dengan menunaikan kewajiban terhadap badan menjadi sebuah kewajiban yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban yang lainnya seperti kewajiban beribadah dan da’wah , sebagaimana kaidah fiqih mengatakan ; “Maa laa yatimmul waajibu illaa bihi fahuwa waajibun”. Di sisi lain Allah telah memberikan contoh keseimbangan pada struktur ciptaanNya, seperti langit yang ditegakkanNya dan dirancang dengan penuh keseimbangan. Jarak antara matahari dan bumi juga diatur seimbang, tidak terlalu dekat sehingga bumi terancam bahaya oleh radiasinya, juga tidak terlalu jauh sehingga suhu udara di bumi tidak membeku. Demikianlah Allah SWT menggambarkan prinsip-prinsip keseimbangan, dan oleh karenanya kita dilarang untuk menyimpang dari timbangan dan takaran yang semestinya, wabilkhusus untuk badan kita. ( QS Ar-Rahman : 7-10 ).

C.      Kewajiban terhadap akal
Akal merupakan karunia Allah SWT yang sangat berharga. Betapapun terbatasnya kemampuan akal, akan tetapi Allah telah mendisain akal seseorang agar memiliki kemampuan untuk merenungkan nilai-nilai kebenaran. Oleh karena itu seseorang dapat tergolong sebagai penghuni neraka sa’ir lantaran meninggalkan kewajibannya dalam hal menggunakan akalnya. (QS. Al-Mulk : 10).
1.      Di antara kewajiban seorang Al-Akh terhadap akalnya adalah dengan banyak membaca dan produktif dalam membuat tulisan. Semangat membaca dan menulis merupakan stimulus dari wahyu pertama yang termaktub dalam rangkaian surat al-‘Alaq.

2.      Kemudian seyogyanya seorang Al-Akh juga dianjurkan untuk banyak menelaah Risalah-risalah Ikhwan (Risalah Ta’lim, Risalah Jihad dll), surat kabar, tabloid, buletin dan majalah yang diterbitkannya, berusaha sebisa mungkin mengadakan perpustakaan betapapun kecil dan sederhana, sedangkan bagi seorang Al-Akh yang mempunyai peluang, kemampuan dan prospek akademis hendaknya jangan menyia-nyiakan hal itu untuk memperdalam kemampuan akademisnya dan keterampilan ilmiahnya, hal ini ditekankan oleh Allah SWT dalam firmanNya surat at-Taubah : 122. Dengan segala kemampuan akademis dan wawasan keilmuan yang dimiliki seorang Al-Akh, maka wajiblah baginya untuk memberikan perhatian kepada kegiatan keislaman secara umum. Sehingga dapat segera direspon dengan baik bila ada kegiatan da’wah. 

3.      Kewajiban pula bagi seorang Al-Akh untuk mengerahkan pikirannya bagaimana dapat membaguskan tilawah Al-Qur’annya, dan mentadabburkan kandungan ma’nanya (4: 82, 47:24, 38 :29). Imam Ali Bin Abi Thalib berkata ; “Laa Khaira fii qira’atin laa tadabbura fiihaa” (Tidak ada kebaikan dalam membaca Al-Qur’an yang tidak dibarengi dengan mentadabburkannya).

4.      Di sisi lain seorang Al-Akh diharuskan banyak mempelajari Sirah Nabawiyah dan sejarah salafussalih, karena hal itu akan memantapkan hati (Tsabat), menjalin hubungan nostalgia dan mempertajam memori (Dzikra) dan nasehat penuntun di jalan da’wah (Mau’idzah). Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Hud : 120. Juga untuk menambah militansi dan semangat dalam berda’wah serta berjihad di jalan Allah, karena sebagaimana perkataan Ulama Salafussalih “Al-Hikayatu jundun min junudillah” (Kisah atau cerita laksana tentara-tentara Allah SWT).

5.      Kewajiban intelektual seorang Al-Akh juga dianjurkan untuk berusaha mempelajari bahasa Arab dan gramatikanya serta disiplin ilmu syari’ah lainnya. 

D.     Kewajiban Al-Akh terhadap akhlaknya 
1.      Hendaknya seorang Al-Akh bersikap malu dan peka perasaannya. Malu yang dimaksud di sini adalah menjaga diri dari hal-hal yang dapat merusak keimanan dan kehormatan diri. “Al-Hayaa’u satrul Iman” (Malu itu sebagian dari Iman), demikian hadits Rosulullah SAW. Sedangkan yang dimaksud peka perasaannya adalah cepat tanggap terhadap kebaikan-kebaikan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan, misalnya bila seorang Al-Akh kedatangan tamu maka ia cepat-cepat menyambut tamunya dengan senyum dan wajah yang berseri seri, “Tabassumuka li akhika sadaqah” (Senyummu kepada saudaramu adalah sodaqoh), demikian nasehat Rasulullah SAW.

2.      Akhlak terpuji lainnya yang menjadi kewajiban seorang Al-Akh adalah sikap tawaddhu, tawaddhu yang dimaksud  bukanlah rendah diri tapi rendah hati. Sebab kalau rendah diri pertanda tidak memliki izzah maka tawaddhu yang sebenarnya adalah tidak menyombongkan dan membesarkan diri dihadapan orang-orang beriman, tetapi sebaliknya merasa besar dan mulia di hadapan orang-orang kafir, ” ‘Aizzatin ‘alal kaafiriina, ‘Adzillatin ‘alal mu’minin” (5 : 54), tawaddhu yang dimaksud disini juga bukan “jurus tawaddhu” yang terkadang ditunjukkan oleh seorang Al-Akh untuk menolak satu permintaan kebaikan atau wadzhifah, baik tandzhimiyah maupun da’awiyah. Seorang Al-Akh berkewajiban menjunjung tinggi kebenaran dan menjauhi sikap dusta, karena bersikap benar itu amanah dan dusta itu khianat. Orang yang konsisten dengan kebenaran biasanya memiliki keinginan yang kuat (quwwatul iradah), istiqomah, tidak plin-plan dan tidak gampang mengingkari janji, bersikap berani karena benar, mengakui kesalahan, menyadari keterbatasan diri sendiri dan mampu menguasai emosi. 

3.      Hendaknya pula seorang Al-Akh menjaga kehormatan dan wibawanya, meskipun demikian hal itu bukan berarti menghalanginya untuk sekali-kali bergurau dan melempar senyum, “Arihuu anfusakum fainnahaa lam tushna’ min hadiid” (Rehatkanlah diri kalian karena diri kalian bukan terbuat dari besi, demikian hadits Rasulullah SAW. 

4.      Hendaknya seorang Al-Akh menjauhi pergaulan yang jelek dan rusak serta menjauhi tempat maksiat, meskipun tidak melakukan maksiat di tempat tersebut. Namun hal itu akan menimbulkan fitnah dan kurang mendatangkan berkah, oleh karena itu di antara adab-adab rihlah adalah tidak mengunjungi tempat yang nyata-nyata banyak dan penuh dengan kemaksiatan. 

E.      Kewajiban Al-Akh terhadap kantongnya 
1.      Meskipun kaya seorang Al-Akh tetap berkewajiban untuk bekerja mencari maisyah. Sebab semakin kaya semakin banyak harta yang diinfakkan di jalan da’wah, terutama para suami yang harus bekerja menghidupi anak dan istrinya. Suami adalah qowwam, sehingga meskipun isterinya adalah orang kaya bukan berarti suami lepas dari tanggung jawab mencari maisyah, karena kekayaan isteri tidak menggugurkan kewajiban suami untuk mencari nafkah. (4 :34). 

2.      Hendaknya seorang Al-Akh jangan terlalu berambisi untuk duduk di birokrasi, tetapi jangan ditolak bila memang peluang itu ada. Seorang Al-Akh lebih disukai menjadi wiraniaga atau pengajar, karena waktunya lebih fleksibel dan tidak terlalu mengikat, sehingga bebas dan leluasa untuk melakukan manuver-manuver da’wah. Adapun seorang Al-Akh bila menjadi tenaga profesional hendaknya seoptimal mungkin menjaga kualitas, kredibilitas dan tepat janji sesuai kesepakatan, dengan kata lain ithqonul ‘amal. “Innallaha yuhibbu idzaa ‘amila ahadun an yuthqinahu” (Sesungguhnya Allah SWT menyukai bila seseorang bekerja ia melakukannya dengan ithqon). Jangan menyalah artikan tsiqoh dengan ikhwah lalu bermuamalah seenaknya atau membiasakan manajemen “afwan” untuk menutupi kelalaiannya dan ketidak ithqonannya dalam bekerja. 

3.      Dalam mencari Ma’isyah seorang Al-Akh jangan coba-coba bermain riba, karena selain tidak berkah hal itu berarti melanggar sesuatu yang jelas-jelas diharamkan Allah SWT, juga menjauhi perjudian dengan segala unsurnya

4.      Seorang Al-Akh berkewajiban menghemat dengan menabung dan menyimpan uangnya agar sewaktu-waktu bila ada emergency bisa digunakannya tanpa harus meminta atau meminjam kepada yang lain. Bila dari hasil ma’isyah menghasilkan uang cukup banyak janganlah berlebihan dan berfoya-foya sehingga cenderung mengarah kepada perbuatan yang mubadzir

5.      Dan yang terakhir sedapat mungkin mencintai produk dalam negri wabil khusus produk sesama ikhwah untuk menggairahkan produktifitas ma’isyah di kalangan ikhwah. 

F.      Kewajiban Al-Akh terhadap da’wah 
1.      Kewajiban seorang Al-Akh terhadap da’wahnya adalah menjaga konsistensi dan soliditas hubungan terhadap jama’ah, kalaupun seorang Al-Akh menjalin hubungan dengan institusi dan organisasi lainnya, seperti perusahaan, ormas dll, maka hal itu dibenarkan sepanjang ada maslahat berkecimpung di dalamnya, terlebih lagi bila hal itu memang dilakukan atas perintah dan rekomendasi jama’ah sebagai on mission misalnya.

2.      Sebaliknya memutuskan hubungan sama sekali dengan lembaga atau institusi baik hukum, pemerintahan maupun pendidikan yang nyata-nyata berlawanan dengan fikrah Islam. 

3.      Juga menjadi kewajiban seorang Al-Akh untuk mengenali anggotanya satu persatu dengan baik, menunaikan hak-hak ukhuwwah mereka, mengutamakan dan membantu mereka serta menunjukkan rasa cinta dan empati kepada mereka karena Allah SWT. 

4.      Hendaknya seorang Al-Akh berpartisipasi aktif dalam da’wahnya dengan menyumbangkan sebagian hartanya, menyebarluaskan da’wah ke mana saja, mulai dari keluarga dan siapa saja yang berhubungan dengannya.

5.      Dan seorang Al-Akh senantiasa merasakan nuansa keqiadahan meliputi dirinya, sehingga terus menerus terasa berhubungan dengan qiadah baik secara ruh maupun amal, misalnya meminta izin jika hendak melakukan kebijakan dan manuver da’wah yang dirasakan penting dan sensitif.

6.      Ala kulli hal hendaknya seorang Al-Akh laksana tentara yang bersiap siaga di pos dan baraknya untuk menunggu komando dan perintah. 
G.     Kewajiban Al -Akh kepada masyarakat umum.
1.      Kepada orang lain meskipun dia bukan ikhwah hendaknya seorang Al-Akh bersikap adil, objektif dalam mengambil keputusan di setiap keadaan (5 : 8), jangan melupakan kebaikan orang lain hanya karena marah dan sebaliknya jangan menutup mata terhadap kejahatan dan keburukannya karena terlalu senang kepadanya. 

2.      Seorang Al-Akh hendaknya bersungguh-sungguh berkhidmat demi kepentingan orang lain, dan merasakan adanya kegembiraaan dan kepuasan batin bila dapat berbakti kepada orang lain, seperti menengok orang sakit atau menghibur seseorang dalam kesedihannya walaupun hanya dengan satu kalimat. “Khairunnaasi anfa’uhum linnaasi” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain), demikian hadits Rasulullah SAW. 

3.      Kepada orang lain Al-Akh hendaknya menebar kasih sayang, bersikap toleran, mudah mema’afkan dan lapang dada, bersikap lembut walaupun kepada binatang, bergaul dengan akhlak yang baik kepada semua orang dan menjaga adab dalam hidup bermasyarakat. Menyayangi yang kecil, menghormati yang besar, melapangkan majlis dan memberi tempat duduk kepada orang lain.

4.      Kemudian tidak melakukan tajasssus, ghibah, dan tidak lupa meminta idzin bila hendak masuk atau keluar dari ruangan ( 49 : 9 – 13 ).